Pada level ini manusia mulai mengungkapkan rasa tidak puas, tidak menerima kenyataan, dan adanya upaya memberontak. Hal ini memang sangat rasional, karena manusia adalah makluk yang peka dan selalu mempunyai reaksi terhadap sesuatu. Pada titik ini, muncul persoalan: sejauh mana kita dapat bersikap professional dan dewasa dalam menerima kenyataan? Ungkapan penolakan terhadap situasi yang ada, merupakan sebuah anggapan sesuatu yang baru tidak harus seperti itu. Jika itu berhubungan dengan jabatan, maka ungkapan penolakan merupakan sebuah pemikiran yang menjagokan dirinya. “mengapa harus dia dan bukan saya” atau “dia sebenarnya tidak cocok dan saya adalah orang yang paling cocok pada posisi itu” atau kita mulai membangkitkan sebuah asumsi yang keliru tentang kemampuan orang tertentu. Bisa saja dilihat, dalam kasus tersebut di atas tidak difungsikan asas “the rigth man on the rigth place”, tidak menempatkan orang yang tepat pada posisi yang tepat. Apakah ini benar…? Ah….ini kan hanya asumsi pribadi, yang merupakan ungkapan kecewa. Ya…..kan?
Secara logis, ketika kita menyatakan sesuatu yang lain tidak tepat, tidak cocok dan segala atribut yang menyatakan kesangsian kita, pada saat yang sama kita mengungkapkan secara implicit kepada kalayak bahwa yang cocok dan tepat adalah saya. Kata dan reaksi terlalu kaya untuk mengungpkan luapan perasaan kecewa. Sekian sering apa yang kita katakan dan buat, diformat sekian rapih dengan motivasi menyentil perasaan orang yang telah menungguli diri kita.
Seorang penyanyi, Amri Palu, dalam lagu yang berjudul terlajur basah, mengawaskan kita dalam berbicara, sebab kata itu lebih kejam dari membunuh. Dalam berbicara kalimat yang diungkapkan harus mempertimbangkan nilai rasa dan nilai arti bukan asbun. Ungkapan yang tidak terkontrol yang bisa memicuh reaksi negative pihak lain bisa amat mengganggu seseorang dalam melaksakan aktivitas kerjanya. Kata itu hanya enak di telinga akan tetapi menusuk di hati (kata Tommy Gunawan), karena ungkapan yang menggelikan itu dapat meruntuhkan semangat dan mematahkan niat serta menciptakan luka di kalbu.
Ungkapan yang melukai perasaan orang lain merupakan kudeta tingkat dasar. Entah sadar atau tidak hal itu berindikasi pada keinginan menduduki posisi tersebut. Ini bukan sesuatu yang baru sebab sejak dahulu manusia selalu berhadapan dengan upaya merebut kekuasaan dan sampai kapan pun kenyataan ini tak pernah akan berakhir. Mengapa hal serupa ini bisa terjadi…? Bisa jadi adanya pihak tertentu masih memakai pola lama dalam memandang sesuatu. Untuk itu harus membaharui pemikiran yang out of date dan mensinkronkan sesuai perkembangan zaman. Sebab semakin sering kita melakukan hal yang membuat orang ill feel, semakin jelas dan nyata kita menunjukkan jati diri sebagai orang yang tidak dewasa. Kita hanya hadir dan ada-tampil perkasa bermental anak.
Bukan saatnya kita mempersoalkan sesuatu yang sebenarnya tidak perlu dipersoalkan. Satu pertanyaan krusial yang harus dijadikan dasar pencarian tentang masalah di atas adalah “apa yang terjadi pada saya, sehingga saya tidak di situ?. Jika kita secara fair melihat diri di sana kita siap menerima kenyataan yang ada. Tidak perlu mengkambing hitamkan orang lain. Tetapi bawalah ke meja hijau diri kita sendiri dan adililah sendiri tentang diri kita. Puncak dari semua ini adalah berdamai dengan kenyataan yang ada dan we can accept anithyng.
We are one
We have make unity in our daily life
I believe…..
We can get anything
If we want to try out anything.
Who are trying anything
The someone is a win
Do you agree…..?
By. our
Tidak ada komentar:
Posting Komentar