Pengalaman serupa dialami oleh para penghuni Camp 35, khususnya blok Mentewang. Pengalaman yang mendebarkan hati bukan karena keinginan mereka untuk memperoleh uang yang banyak (plesetan kata Mentewang menjadi Mente dan Wang. kata Mente merupakan pembelokan dari kata Minta dan Wang berarti Uang. Jadi secara sederhana kata Mentewang dapat diasumsikan sebagai Minta Uang) tidak terwujud akan tertapi karena sebuah ancaman alam yang menggoncang dan menggetarkan jiwa serta membuat mereka amat ketakutan.
Ketakutan ini berawal dari hujan lebat mengguyur wilayah Camp 35 pada tanggal 26 oktober 2009 sekitarnya pukul 19.30 - 21.30, dan hal yang membangkitkan tingkat kekawatiran luar biasa adalah di pemukiman blok Mentewang adanya gejala longsoran. Kekhawatiran ini terulang kembali setelah dua atau tiga tahun berlalu, antara tahun 2007/2008 terjadi hal yang sama. Menurut pengakuan beberapa ibu blok Mentewang bahwa kekhawatiran itu selalu timbul bila adanya hujan lebat. Apabila itu terjadi pada malam hari maka mereka tidak mudah menuruti desakan mata untuk cepat membaringkan diri dan mengukir kekelaman dengan mimpi-mimpi indah. Malah mereka harus melawan keletihan tubuh demi mengantisipasi terjadinya hal-hal yang tidak diharapkan.
Tingkat kerawanan untuk terjadinya longsor amat tinggi, hal ini disebabkan oleh struktur tanah di wilayah ini tidak mampu menahan desakan air. Semua ini terjadi karena berat jenis tanah lebih kecil dibandingkan dengan kekuatan aliran air hujan. Hal ini menyebabkan tanah dengan mudah terbawa arus air hujan. Beberapa orang mengatakan bahwa kerawanan itu menjadi mungkin karena tanah yang ada merupakan tanah pinjaman alias tanah numpang alias tanah timbun alias tanah yang diambil dari tempat lain dan membentuk sebuah dataran untuk dijadikan area permukiman.
Apabila memang demikian halnya, maka kekhawatiran yang timbul dalam hati para penghuni blok Mentewang amat beralasan. Sebab itu amat berhubungan dengan kelangsungan hidup dan masa depan mereka. Apabila dicermati secara mendalam, tentang ketakutan mereka akan timbul rentetan pertanyaan: Apakah wajar mereka harus takut? Apakah yang mereka takutkan bila terjadi longsor? Apakah mereka takut mati atau apakah mereka takut hidup?
Sebagai manusia ketakutan terhadap sesuatu yang mengancam hidup amat wajar dan sangat manusiawi. Apakah ini sebagai pratanda bahwa manusia selalu takut akan kematian? Sebenarnya kematian itu tidak perlu ditakutkan karena hidup manusia ditarik dan diulur oleh dua titik yang berseberangan yaitu kehidupan dan kematian. Semua orang yang hidup pasti akan mati, semakin kita takut akan kematian maka kehidupan kita akan semakin dihantui oleh kematian itu sendiri. Siapa yang takut mati ia jangan hidup dan hanya orang yang sudah mati tidak takut akan kematian itu sendiri.
Mengapa orang harus menghindarkan diri ketika ada bahaya? Ebiet G. Ade mengatakan “mumpung kita masih diberi waktu” jangan disia-siakan. Mumpung masih ada waktu untuk menghindarkan diri jangan mengabaikannya. Menghindarkan diri dari ancaman bahaya menunjukkan ketakutan mereka akan hidup. Mereka takut untuk hidup khususnya di tempat rawan bencana. Mereka takut hidunya diancam bencana. Mereka takut disebut sebagai sisa bencana.
Menghindarkan diri dari bahaya mengisyaratkan bahwa manusia mencintai kehidupannya. Sebab semua manusia dalam hati kecilnya mendukung ucapan Chairil Anwar “ aku ingin hidup seribu tahun lagi”
Beberapa dari mereka pindah ke pemukiman blok lain agar kekhawatiran ini tidak selalu menghantui mereka. Di tengah ramainya niat ingin pindah, ada yang ingin tampil sebagai Mbak Marijan yang tidak gentar dan takut menghadapi ancaman alam. Mbak Marijan pernah tidak meninggalkan kampung halamannya manakala gunung merapi akan meletus. Alhasil, aksinya itu membuat ia menjadi terkenal dan menjadi bintang iklan salah satu produk. Apakah mereka ingin mengukir nama sebagai Mbak Marijan dari Mentewang? Wallahu alam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar